Sebetulnya usaha-usaha yang mengarah kesitu sudah ada, meskipun belum dalam bentuk translasi [terjemahan, ke dalam bahasa Indonesia] tetapi paling tidak dalam 'transliterasi' [dari aksara Jawa ke huruf latin].
Sebagai contoh yang saya tahu adalah karya besar Serat Centhini (versi Kamajaya dan versi Soeradipoera), kamus Bausastra Jawa (Poerwadarminta, 1939) dan Bausastra Jarwa Kawi (Padmasusastra, 1903) dan beberapa jenis babad seperti Babad Tanah Jawi, Babad Giyanti, Babad Dêmak, Babad Mangir, dan masih banyak lagi.
Ini proses yang makan waktu dan tenaga dan dana [though not
necessarily] yang besar. Aku sendiri bahkan sudah mebayangkan,
berangan-angan satu saat bisa mengumpulkan man-resources (SDM) untuk
melestarikan khasanah budaya ini, bukan saja dalam bentuk tulis tetapi
juga dalam bentuk audio -- apalagi serat Jawi itu hampir semuanya
ditulis dalam bentuk tembang (Macapat). Bahasa itu tidak lepas dari
"suara" yang ditimbulkan atau mengiringinya. Ini sudah
dilakukan pada naskah kuno seperti Iliad dan Odyssey nya
Homer (Yunani klasik), Bhagawat Gita (India), Bewoulf
(Olde English), etc.
Sebetulnya hal beginian ini bisa dimulai dari sekarang, just do
it. Nggak usah nunggu --as I wrote previously: not necessarily--
jatuhnya dana (malah nanti jadi bancakan para anggota DPR yang
terhormat :-). Kita bisa belajar banyak dari proyek kolosal di
Internet: Project Gutenberg dan Librivox, yang melakukan digitasi
buku-buku dalam bentuk text dan audio. Semuanya itu dilakukan oleh
volunteer! [sudah berjalan lebih dari 3 dekade]. Nah, aku bayangkan
seandainya kita bisa recruit, volunteer untuk "waosan"
(menembangkan) bait-bait sekar Jawi yang sudah di-transliterasi [tidak
ada alasan mboten saged maos hanacaraka]. Serat Centhini* yang 3500
halaman itupun akan selesai dalam tempo singkat.
Bayangkan, kalau kita bisa ngajak --pakai gethok-tular, beri
contoh dulu dari diri sendiri-- potensi dari ribuan/jutaan bapak-bapak
di Solo yang menyibukkan diri dengan metheti kutut karena yang tidak
tahu yang dikerjakannya sebagai aktualisasi diri (metheti perkutut
memang tidak jelek, tetapi kan tidak terus-menerus seharian, jempolnya
bisa lecet melepuh :-)
Reward-nya? Oh, they'll make history and be part of the history.
Namanya akan menyertai bagian waosan yang ditembangkannya [cengkok
atau merdu tidaknya suara tidak terlalu penting]. What can be better
than that, seperti temen buleku suka bilang, it's a legacy that much
cooler than the inscription on your tombstone.
Moko/
__
*Serat Centhini (Kamajaya, 1986), jilid 1 kaca 1,
Sinom:
- Sri narpadmaja sudigbya / talatahing nuswa Jawi / Surakarta Adiningrat / agnya ring kang wadu carik / Sutrasna kang kinanthi / mangun rèh caritèng dangu / sanggyaning kawruh Jawa / ingimpun tinrap kakawin / mrih tan kêmba karya dhangan kang miyarsa //
- Lajêre kanang carita / laksananing Jayèngrêsmi / ya Sèh adi Amongraga / atmajèng Jêng Sunan Giri / kontap janma linuwih / oliya wali mujêdub / paparênganing jaman / Jêng Sultan Agung Mantawis / tinêngran srat kang Susuluk Tambangraras //
- Karsaning kang narpaputra / baboning pangwikan Jawi / jinèrèng dadya carita / sampating karsa marêngi / nêmlikur Sabtu Paing / lèk Mukaram wêwarsèku / Mrakèh Hyang Surènggana / Bathara Yama dewa ri / Amawulu Wogan Suajag sumêngka //
- Pancasudaning Satriya / wibawa lakuning gêni / windu Adi Mangsa Sapta / sangkala angkaning warsi / Paksa suci sabda ji / rikang pinurwa ing kidung / duk kraton Majalêngka / Sri Brawijaya mungkasi / wontên maolana sangking nagri Juddah //
- Panêngran Sèh Walilanang / praptanira tanah Jawi / kang jinujug Ngampèldênta / pinanggih sang maha rêsi / araraosan ngèlmi / sarak sarengat Jêng Rasul / nanging tan ngantya lama / linggar saking Ngampèlgadhing / ngidul ngetan anjog nagri Balambangan //
++++
No comments:
Post a Comment